LEGENDA LAMPEGAN: Terowongan kereta api nan eksotis

Matahari baru saja menyapa  Cianjur diam-diam. Cahayanya yang kemerah-merahan mirip pipi seorang jejaka hijau yang ketahuan saat tengah membuat surat cinta buat gadis pujaanya. Saya menyusuri Jalan Dewi Sartika, mencoba mengumpulkan serpihan-serpihan masa lalu Cianjur di kamera saya.

“Mang, ngiring calik nya? (Mang, ikut duduk ya?)”ujar saya kepada seorang tukang bakso yang tengah menyiapkan dagangannya. Si Emang reflek menganggukan kepala.Beberapa titik noda merah saus murahan terlihat di bagian depan baju birunya yang bertuliskan PERSIB NU AING (Persib Punya Saya).

Persib adalah singkatan dari Persatuan Sepakbola Indonesia Bandung yang berdiri pada 1933. Kendati tim kesebelasan ini markas besarnya di Bandung, namun sebagian besar orang Jawa Barat sudah terlanjur merasa memilikinya. Buktinya, jika Persib main di suatu tempat (apalagi masuk final) semua orang Sunda yang menamakan dirinya bobotoh (supporter) akan berduyun-duyun datang. 

Duduk di  dekat gerobak bakso, diam-diam saya merasa terpukau dengan bangunan bergaya art deco yang menjulang di hadapan saya. Inilah Stasiun Cianjur, sebuah saksi bisu perkembangan kereta api di tanah Priangan. Kendati sudah berusia ratusan tahun (dibangun tahun 1879), namun wujudnya masih terlihat kokoh.

Namun sayang, begitu memasuki ruangan dalam, kesan kumuh mulai tertangkap: para gelandangan yang tidur sembarangan dan kumpulan pedagang makanan yang memilih letak secara acak. Di beberapa sudut, beberapa lelaki tengah bermain domino. Sesekali  tawa dan makian mereka terdengar, mengeruhi suasana pagi yang sebenarnya ranum itu.

“Ini baru siang.Coba datang malam hari, sudah seperti area lokalisasi saja di sini,” ujar Amy (28), yang mengaku sering lewat tempat ini sepulang dari tempat kerja.

Suasana tersebut jelas kontras dengan latar belakang sejarah pendirian stasiun ini di zaman Hindia Belanda. Di era itu, selain pernah menjadi stasiun induk bagi Priangan, tempat ini juga pernah  dijadikan pusat distribusi garam ke berbagai kota di barat Jawa. Buktinya kini masih ada, yakni sebuah bangunan tua (yang dikenal sebagai Gudang Uyah alias gudang garam), yang kini terpuruk laiknya orang sakit, persis terletak di bagian dalam area stasiun.

Bergerak ke arah Sukabumi, sekitar 15 KM dari Stasiun Cianjur, terdapat halte (stasiun kecil)  yang terletak persis di muka Lampegan. Itu nama sebuah terowongan (dibangun juga pada tahun 1879) berpanjang 415 meter yang dibuat dengan meledakan bagian tengah badan Gunung Kancana yang menaungi kawasan tersebut.



Terowongan Lampegan selesai pada 1882 sebagai penghubung jalur kereta api Sukabumi-Cianjur-Bandung. Peresmiannya dilakukan oleh para pejabat Belanda dan menak-menak lokal. Untuk memeriahkan peresmian tersebut, pada malam harinya pihak jawatan kereta api Hindia Belanda tak lupa mengundang juga Nyi Sadea,seorang ronggeng terkenal di daerah tersebut. Malang bagi Nyi Sadea, usai meronggeng, seseorang mengajaknya pergi dan sejak itu ia tak pernah kembali.

”Entah dibunuh atau diapain,orang-orang enggak tahu,”kata Zaenuddin (45), salah seorang penduduk yang tinggal di kawasan Lampegan tersebut.

Raibnya Nyi Sadea memunculkan rumor yang beraroma mistis di kalangan masyarakat sekitar. Sebagian masyarakat di sana yakin, perempuan cantik itu telah dijadikan tumbal pembangunan terowongan Lampegan. Konon tubuhnya ditanam di salah satu dinding beton di sebelah dalam terowongan.Sejak itu menurut Dachlan, tokoh masyarakat setempat, Nyi Sadea beredar sebagai arwah penasaran dan sekaligus menjadi penghuni gaib terowongan Lampegan.

“Katanya dia diperistri oleh Ranggawulung, penguasa gaib di kawasan ini.Dan sekali-kali sering menampakan diri di terowongan,”ujar lelaki kelahiran 1957 itu.Entah benar atau tidak,nyatanya hingga kini masyarakat setempat seolah menggengam erat kisah skandal tersebut.

 Namun jarang orang yang paham bahwa sebelum ada jalur kereta api,kawasan Lampegan bernama Sasaksaat. Lalu dari mana munculnya nama Lampegan? Tak lain itu berasal dari kondektur spur yang tiap menjelang terowongan kerap berteriak: “Steek Lampen aan!”yang berarti “nyalakan lampu”. Di telinga orang Sunda kata-kata itu seolah terdengar sebagai lampegan.

Kini Halte Lampegan masih kokoh berdiri. Begitu pula dengan terowongannya yang pada 2005 sempat mengalami longsor hingga mematikan jalur Sukabumi-Cianjur-Bandung. Namun setelah para insinyur Jepang turun tangan pada 2006, jalur tua itu dinyatakan laik kembali digunakan.

”Katanya sih aktif  setelah lebaran kemarin, tapi sampai saat ini belum ada kok kereta yang lewat sini,”kata Zaenuddin.

source:  https://islamindonesia.id/berita/semalam-di-tjiandjoer-2.htm
Tag : ARTIKEL
Back To Top