LEGENDA PEMBUNUHAN DALEM CIANJUR

Sekitar 1 KM  arah utara Stadion Badak Putih, berdiri Masjid Agung Cianjur. Saat dibangun pada 1810, salah satu masjid termegah di Jawa Barat itu, luasnya hanya 400 meter persegi. Tahun 1993, masjid yang didirikan  di atas tanah wakaf Nyi Mas Bodedar –salah satu putri Dalem Sabaruddin, Bupati Cianjur ke-4—itu direnovasi. Begitu selesai tujuh tahun kemudian, luasnya bertambah menjadi 2500 meter persegi dengan daya tampung 4000 jamaah.

 Tepat di muka Masjid Agung Cianjur, menghampar  sebuah taman kota yang dikenal sebagai Alun-Alun Cianjur. Sejarah mencatat, di tempat itulah ratusan tahun lalu pernah terjadi seorang pemuda nekat, dibantai oleh para punggawa Dalem Aria Wiratanudatar III (1707-1726). Itu nama seorang bupati feodal yang berkuasa  laiknya raja kecil di di salah satu wilayah  Priangan tersebut.

“Saurna mah dugi dicacag diwalang-walang,dagingna di sebar dugi ka tungtung alun-alun palih kaler (Katanya sampai dicincang habis dan dagingnya di sebar sampai ke ujung alun-alun sebelah utara)”,ujar Tjutju Soendoesijah.

Praktek mutilasi tersebut dilakukan sebagai hukuman buat sang pemuda yang telah melakukan rajapati (pembunuhan) terhadap Dalem Wiratanu III dengan sebilah condre(sejenis senjata tajam tua khas sunda yang menyerupai pisau kecil) hingga tewas. Namun apa yang menyebabkan si pemuda berlaku senekad itu? Ada banyak versi mengenai latar belakang pembunuhan tersebut. Salah satunya seperti yang dipercayai Tjutju: karena alasan dendam dan cinta.

Alkisah, suatu hari Dalem Wiratanu III melakukan kegiatan rutinnya yakni berburu banteng dan rusa ke daerah Cikembar, Sukabumi. Saat singgah untuk istirahat di sebuah desa terpencil, ia bertemu dengan seorang dara elok bernama Apun Gencay. Sang dalem yang sudah memiliki beberapa selir dan istri itu lantas jatuh cinta dan “meminta” Apun Gencay kepada orangtuanya.

Tentu saja Apun dan orangtuanya tidak bisa berbuat apa-apa terhadap permintaan sinuwun dalem itu. Laiknya cacah kuricah (rakyat kecil) di sebuah kawasan yang memeluk erat feodalisme, mereka sudah terkondisikan “haram” hukumnya untuk mengatakan tidak kepada penguasa. Padahal secara pribadi Apun telah memiliki tambatan hati.


Singkat cerita, keluarga besar Apun setuju. Beberapa hari kemudian saat matahari nyaris tenggelam di sebelah barat, Apun pun datang ke pendopo kadaleman Cianjur. Namun tidak sendiri. Ia ditemani oleh seorang pemuda yang diakunya sebagai saudara. Begitu sampai di pintu rumah Dalem Wiratanu III, nampak sang dalem tengah duduk di katil dalam wajah yang cerah didampingi seorang pengawalnya bernama Ki Purwa.

 “Yap kadieu (Ayo mendekatlah)…,”panggil sang dalem.

Dengan langkah pelan dan kepala menunduk, Apun mendekat ke arah Dalem Wiratanu III. Seolah tersihir kecantikan kembang Cikembar itu, sang dalem tak berkedip memandang wajah Apun Gencay. Tiba-tiba dalam situasi tersebut, sang pemuda yang ada di sebelah Apun menyeruak sambil menghunus condre. Demi menghadapi serangan tiba-tiba itu, tentu saja Sang Dalem terkejut. Namun ia terlambat untuk melakukan tangkisan hingga 3 tusukan condre mengoyak lambungnya.

Gerakan kilat si pemuda membuat Ki Purwa juga terkesima. Barulah setelah ia mendengar jerit Apun dan teriakan kesakitan majikannya, diikuti oleh beberapa pasukan pengawal, ia bergerak mengejar si pemuda yang sudah menghambur keluar. Terjadilah perkelahian tak seimbang hingga menyebabkan mundurnya si pemuda ke arah alun-alun. Di area terbuka menghadap masjid agung inilah, Ki Purwa berhasil memenggal kepala si pemuda.

“Tidak puas dengan hanya memenggal, Ki Purwa dan pasukannya mencincang tubuh si pemuda hingga terdiri dari beberapa potongan,”ujar Tjutju yang mengaku mendapat cerita itu dari neneknya.

Potongan-potongan daging itulah yang konon kemudian dipungguti satu persatu oleh Apun Gencay.Dalam linangan air mata, ia memungguti potongan daging sang kekasih sambil meratap.Ratapan itulah yang mengilhami pujangga Sunda kenamaan Yus Rusyana menulis kidung kematian yang tedapat dalam cerita pendeknya berjudul Apun Gencay.

Lalu bagaimana nasib Dalem Wiratanu III? Tiga jam setelah kejadian, tepatnya bada magrib, sang dalem flamboyan itu menghembuskan nafas terakhirnya. Jasadnya kemudian dikebumikan di komplek pekuburan keluarga yang terletak di kawasan Desa Pamoyanan (termasuk dalam wilayah Kecamatan Cianjur kota saat ini). Sejak itu pula Wiratanu III dikenal dengan sebutan Dalem Dicondre.

Sejarawan Sunda, Gunawan Yusuf menyebut peristiwa terbunuhnya Wiratanu III menumbuhkan luka yang mendalam hingga kini di hati orang-orang Cianjur terutama keluarga para dalem. Begitu membekasnya, hingga sesepuh Cianjur “melarang keras” turunan Wiratanudatar untuk menyentuh condre dan pantang menikahi gadis Cikembar.

Tapi betulkah pembunuhan Wiratanu III itu semata-mata musababnya cinta? Tak ada keterangan pasti mengenai soal itu, karena hingga kini belum ada satu pun peneliti sejarah yang mendalami tragedi menggemparkan Priangan tersebut. Namun menilik kiprah Wiratanu III yang memiliki keterlibatan jauh dalam Preanger Stelsel, kemungkinan itu bisa terjadi.

Preanger Stelsel adalah sistem pemberlakuan tanam paksa tumbuhan kopi kepada rakyat Priangan (Jawa Barat). Bekerjasama dengan para komparadornya yakni sekumpulan penguasa lokal yang feodal, VOC(Vereenigde Oost indische Compagnie atau Maskapai Dagang Hindia Timur), mewajibkannya sejak 15 April 1723,terpacu oleh harga kopi saat itu tengah menjadi “primadona dunia”.

Terlebih, menurut sejarawan Sunda, Saleh Danasasmita, kopi asal Priangan (baca Cianjur) memiliki kualitas terbaik hingga laku keras di pasaran dunia. Akibatnya kas keuangan VOC pernah surplus. “Karena kopi Priangan pula Belanda sempat menyebut kawasan tersebut sebagai “gabus pelampung Belanda di tanah Hindia”,tulis sejarawan Sunda itu dalamSejarah Bogor Bagian I.

Untuk soal tanam paksa kopi itu, Wiratanu III dikenal sebagai bupati yang sukses di mata VOC. Dibawah pengendaliannya, pada 1724, Cianjur bahkan pernah memanen kopi sebanyak 1.216.257 pikul (setara dengan harga 202.271,25 ringgit. Sebuah jumlah yang sangat fantastik saat itu.

Tak aneh karena prestasinya itu, Wiratanu III disukai VOC. Namun sebaliknya, rakyat Cianjur banyak yang tidak senang kepada Bupati Cianjur ke-3 itu hingga terjadi pembunuhan tersebut. Menurut Gunawan Yusuf, selain masalah cinta, ada kemungkinan pembunuhan Wiratanu III disebabkan oleh korupsi yang dilakukannya terkait bisnis kopi.

Bayaran kopi yang seharusnya perpikul dihargai 17.50 ringgit oleh Wiratanu III dibayar hanya 12.50 ringgit. Jadi ia mengorupsi 5 ringgit yang seharusnya menjadi hak para petani kopi yang tak lain adalah rakyatnya. “Karena soal itulah, rakyat lantas tidak puas dan melakukan pemberontakan yang menewaskan dirinya (Wiratanu III),”tulis Gunawan Yusuf dalam Sejarah Cianjur Bagian 7.

Sayangnya versi kedua dari penyebab terbunuhnya Dalem Wiratanu Datar III tersebut, kurang dikenal luas oleh kalangan karuhun (orang-orang tua) Cianjur. Mereka “lebih suka” mengenang pembunuhan Wiratanudatar III dalam sudut pandang yang sentimentil,dramatis dan sinetronis. Laiknya kisah yang dipercaya oleh Tjutju.

https://islamindonesia.id/berita/semalam-di-tjiandjoer-2.htm
Tag : ARTIKEL
Back To Top